Selasa, 03 Januari 2017

Pengaruh Komitmen Profesional terhadap Kepuasan Kerja Akuntan Pendidik melalui Komitmen Organisasional

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah perilaku organisasi yaitu menganalisis sebuah riset tentang sikap dan kepuasan kerja yang berhubungan dengan akuntansi sebuah perusahaan, untuk itu kami selaku kelompok ingin mengetahui dan mempelajari mengenai riset tentang Pengaruh Komitmen Profesional terhadap Kepuasan Kerja Akuntan Pendidik melalui Komitmen Organisasional. Dengan melakukan analisis riset ini setidaknya kelompok kami mengamati, melihat, memperhatikan walaupun sekedarnya, dan mempelajari sistem-sistem yang ada.
B.     Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah dengan metode menganalisis suatu riset dari website dan situs-situs di internet seperti google.com. Menurut kami dari kedua itu sudah cukup untuk bahan-bahan pembuatan suatu makalah.
C.     Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan kami ini adalah agar bisa bermanfaat bagi kami dan pembaca dengan adanya tugas analisis riset ini diharapkan mahasiswa dapat mengimplementasikan ke dalam dunia usaha pada saat selesai studi nanti serta dapat menambah pengalaman dan pengetahuan yang setidaknya untuk kami ataupun rekan-rekan kami.






BAB II
PEMBAHASAN

Pada analisis riset ini, kami menganalisis dan menanggapi 2 poin dari 4 poin hasil riset dari penelitian Nurika Restuningdiah.
1.    Berdasarkan hasil penelitian dari Nurika Restuningdiah mengenai “Pengaruh Komitmen Profesional terhadap Kepuasan Kerja Akuntan Pendidik melalui Komitmen Organisasional” pada poin “Pengaruh Komitmen Profesional terhadap Komitmen Organisasional”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Komitmen Profesional berpengaruh terhadap Komitmen Organisasional.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Aranya, dkk. (1982). Komitmen Profesional terkait dengan tingkat loyalitas individu pada profesinya, seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut. (Larkin, 1990 dalam Trisnaningsih, (2003). Aranya, dkk. (1982) menyatakan bahwa Komitmen Profesional adalah: (1) Sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai profesi, (2) Sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan profesi, (3) Sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi.
Sedangkan Komitmen Organisasional terkait dengan tingkat loyalitas individu sebagai bagian dari organisasi. Hal ini direfleksikan dalam sikap individu terhadap organisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntan pendidik yang memiliki loyalitas pada profesinya, akan memiliki loyalitas yang tinggi pula pada organisasinya. Indikator yang dominan untuk variabel Komitmen Profesional adalah komitmen dengan adanya dorongan untuk melihat akuntan pendidik yang idealis dalam pekerjaannya dengan faktor loading 0,849. Sedangkan untuk indikator yang dominan pada variabel Komitmen Organisasional adalah kemudahan akuntan pendidik untuk terikat dengan organisasi tempatnya bekerja dengan faktor loading sebesar 0,823. Hal ini memiliki makna bahwa akuntan pendidik yang memiliki dorongan untuk menjadi idealis akan berpengaruh pula terhadap rasa ikut memiliki dalam organisasi. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka dapat pula diartikan bahwa idealisme sangat diperlukan oleh akuntan pendidik dalam menjalankan profesinya. Dorongan untuk menjadi akuntan pendidik yang idealis akan mengarah pada komitmen pada profesinya. Akuntan pendidik yang memiliki komitmen pada profesi akan memiliki loyalitas pada organisasinya,
Hal ini terkait dengan Komitmen Afektif dari Komitmen Organisasional (affective commitment), yang didefinisikan sebagai kuatnya hasrat seseorang untuk tetap bekerja pada sebuah organisasi karena ia merasa cocok dan mau melanjutkannya. Indikator yang dominan pada variabel Komitmen Organisasional adalah kemudahan akuntan pendidik untuk terikat dengan organisasi tempatnya bekerja dengan faktor loading sebesar 0,823.

Berdasarkan teori dari buku “Perilaku Organisasi” yang ditulis oleh Arfan Ikhsan dkk di halaman 59 mengatakan bahwa komitmen organisasi merupakan tingkat sampai sejauh apa seorang karyawan memihak pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut. Komitmen organisasi juga merupakan nilai personal, yang terkadang mengacu pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan. Komitmen organisasional sering diartikan secara individu dan berhubungan dengan keterlibatan orang tersebut pada organisasi yang bersangkutan. Komitmen karyawan pada organisasi merupakan salah satu sikap yang mencerminkan perasaan suka atau tidak suka seorang karyawan terhadap organisasi tempat dia bekerja.

Dan kami beranggapan bahwa riset di atas sejalan saja atau tidak bertentangan dengan teori yang kami ketahui dari buku “Perilaku Organisasi” yang ditulis oleh Arfan Ikhsan dkk di halaman 59 tersebut, yang mana dikatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa seorang akuntan pendidik yang memiliki loyalitas pada profesinya, juga akan memiliki loyalitas yang tinggi pula pada organisasinya. Jadi di sini dijelaskan bahwa jika seseorang telah mempunyai sifat setia kepada perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja maka dengan kesetiaannya itu akan membuat ia berkomitmen untuk menjaga profesinya tersebut yang berada di dalam lingkup perusahaan tersebut, dalam hal ini bukan karena terpaksa tetapi karena rasa ikut memiliki terhadap profesi yang ia jalani dan kemudian dari rasa setia kepada profesi kemudian akan berkembang menjadi komitmen untuk loyal kepada perusahaan di mana ia mengimplementasikan setiap detail pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan di dalam buku Perilaku Organisasi bahwa “Komitmen organisasi juga merupakan nilai personal, yang terkadang mengacu pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan”. Dan teori ini berjalan sealiran dengan hasil penelitian yang telah dilakukan di mana ketika seorang telah mempunyai perasaan memiliki dengan suatu hal maka dia akan menjaga hal tersebut dengan sebaik-baiknya, dan dalam kasus ini seorang akuntan pendidik dalam menjalankan pekerjaan harus dilakukan dengan benar tidak semata-mata hanya karena dia suka dengan profesinya tersebut kemudian untuk mengerjakan tugas dari perusahaan ia tidak bersungguh-sungguh. Dan sifat loyal ini sangat penting dimilki bagi setiap individu dalam lingkup perusahaan maupun dalam lingkup yang lainnya.
2.    Menurut hasil penelitian dari Nurika Restuningdiah mengenai “Pengaruh Komitmen Profesional terhadap Kepuasan Kerja Akuntan Pendidik melalui Komitmen Organisasional”  pada poin “Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kepuasan Kerja” hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen organisasional berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Hal ini memiliki makna bahwa seorang akuntan pendidik yang memiliki loyalitas pada organisasinya cenderung akan merasa puas dalam pekerjaannya (job satisfaction). Semakin tinggi loyalitas akuntan pendidik pada organisasinya, maka semakin tinggi pula kepuasan kerjanya. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Aranya, dkk. (1982), Cahyono dan Ghozali (2002) namun bertentangan dengan hasil penelitian Panggabean (2004) yang menyatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Indikator yang dominan untuk Komitmen Organisasional dalam penelitian ini merupakan indikator dari komitmen afektif yang didefinisikan sebagai kuatnya hasrat seseorang untuk tetap bekerja pada sebuah organisasi karena ia merasa cocok dan mau melanjutkannya, atau dengan kata lain karena ia mau tetap disana. Hal ini memiliki makna bahwa apabila seorang akuntan pendidik telah merasa cocok dengan pekerjaannya, maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi.
Kemudian berdasarkan yang kami ketahui melalui buku “Perilaku Organisasi” yang ditulis oleh Arfan Ikhsan dkk di halaman 54, bahwa hubungan antara kepuasan kerja dan produktivitas adalah lebih kuat ketika kita tidak hanya melihat pada tingkat individu-individu, tetapi pada tingkat organisasi secara keseluruhan. Ketika data kepuasan dan produktifitas yang dikumpulkan untuk organisasi secara keseluruhan dibandingkan pada tingkat individu, kita menemukan bahwa organisasi dengan kepuasan karyawan cenderung lebih efektif dibandingkan organisasi dengan sedikit kepuasan karyawannya.
Berdasarkan riset di atas dan teori tersebut,  dengan hasil riset yang mengatakan bahwa “semakin tinggi loyalitas seseorang maka semakin tinggi pula kepuasan kerja” artinya jika seseorang itu loyal atau setia kepada perusahaan, maka dia akan mudah mendapatkan kepuasan kerja. Dalam hal ini seseorang yang telah memiliki rasa loyal pada perusahaan dia akan dengan mudah memasuki setiap aspek yang ada dalam perusahaan tersebut, misalnya ketika dia dipindahtugaskan ke departemen yang berbeda dari departemen yang sebelumnya ia geluti, maka dia akan dengan mudah menerima dan menyesuaikan diri dengan departemen yang baru dan berpikir bahwa hal tersebut adalah sebuah hal positif yang dapat membuat ia lebih berkembang dan lebih baik lagi dalam mencapai tujuan yang diinginkan perusahaan dan dia tidak merasa terbebani dengan hal itu sehingga dalam melakukan pekerjaan yang diberikan ia dapat mencapai kepuasan kerja yang dia inginkan.  
Kemudian mengenai teori yang mengungkapkan bahwa “apabila seseorang telah merasa cocok dengan pekerjaannya, maka akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi” di sini kami berpendapat bahwa jika seseorang dalam bekerja hanya puas terhadap pekerjaan yang diinginkannya saja maka ia akan merasa kesulitan jika ia dipindahtugaskan dari pekerjaannya dan ia akan sulit mendapatkan kepuasan dikarenakan pekerjaan yang ia tidak inginkan diberikan kepadanya.
Dalam hal ini kami lebih setuju dengan teori yang menyatakan bahwa “semakin tinggi loyalitas seseorang maka semakin tinggi pula kepuasan kerja”  karena berdasarkan buku Perilaku Organisasi yang ditulis oleh Arfan Ikhsan dkk lebih mengarah kepada teori tersebut. Hal ini menunjukkan adanya hubungan  yang saling berkaitan antara kepuasan kerja yang dilandasi rasa setia terhadap pekerjaan yang dijalani dengan organisasi atau perusahaan dalam hal kepuasan yang dihasilkan.










BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pada poin pertama, bahwa jika seseorang telah mempunyai sifat setia kepada perusahaan atau organisasi di mana ia bekerja maka dengan kesetiaannya itu akan membuat ia berkomitmen untuk menjaga profesinya tersebut yang berada di dalam lingkup perusahaan tersebut, dalam hal ini bukan karena terpaksa tetapi karena rasa ikut memiliki terhadap profesi yang ia jalani dan kemudian dari rasa setia kepada profesi kemudian akan berkembang menjadi komitmen untuk loyal kepada perusahaan di mana ia mengimplementasikan setiap detail pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Dan pada poin kedua jika seseorang yang telah memiliki rasa loyal pada perusahaan dia akan dengan mudah memasuki, menerima, dan mengerjakan setiap bidang pekerjaan yang berbeda-beda dari yang di tugaskan kepanya dalam perusahaan tersebut, dan dia tidak merasa terbebani dengan hal itu sehingga dalam melakukan pekerjaan yang diberikan oleh atasan ia dapat mencapai kepuasan kerja yang dia inginkan.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan, oleh sebab itu mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan, dan apabila ada yang kurang atau salah dalam pembuatan makalah ini kami mengharapkan Anda dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami.




DAFTAR PUSTAKA
http://fe.um.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/nurika_9.pdf




Komunikasi Bisnis Lintas Budaya

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain. Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan komunikasi yang baik.
Semakin semaraknya komunikasi bisnis lintas budaya tidak lepas dari semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Di samping itu, kesempatan masuknya berbagai kegiatan bisnis dari satu negara ke negara yang lain semakin terbuka. Mengingat komunikasi bisnis lintas budaya ini berhubungan dengan daerah maupun negara lain yang memiliki budaya, bahasa, adat istiadat, nilai-nilai, dan kepercayaan yang berbeda-beda, terdapat pula hambatan atau kendala yang muncul dalam komunikasi bisnis lintas budaya tersebut. Kemudian sebagai langkah untuk mengatasi kendala-kendala dalam komunikasi lintas budaya kita perlu mencari solusi pemecahannya.
Seperti yang kita tahu, budaya di satu negara tidaklah sama dengan negara yang lain, dan sebagai para pelaku bisnis yang ingin mengembangkan perusahaannya kita perlu memperluas ruang lingkup bisnis kita, tidak hanya berfokus di satu negara tetapi juga perlu dikembangkan ke negara lain. Untuk itu kita perlu mempelajari bagaimana berhubungan dan berinteraksi dengan pelaku bisnis yang memiliki bahasa, tradisi dan norma-norma yang berbeda.
Oleh karena itu, disini kita perlu belajar mengenai bagaimana cara berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan lintas bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar negara Indonesia. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Komunikasi  Bisnis Lintas Budaya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan komunikasi bisnis lintas budaya?
2.      Apa pentingnya komunikasi bisnis lintas budaya?
3.      Apa yang dimaksud dengan budaya dan perbedaannya?
4.      Bagaimana berkomunikasi dengan orang berbudaya asing?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui apa itu komunikasi bisnis lintas budaya.
2.      Mengetahui pentingnya komunikasi bisnis lintas budaya.
3.      Mengetahui apa itu budaya dan perbedaannya.
4.      Mengetahui bagaimana berkomunikasi dengan orang berbudaya asing.
D.    Manfaat Penulisan
Manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah agar mahasiswa dapat  memahami serta mengetahui bagaimana cara melakukan komunikasi bisnis lintas budaya dalam  melakukan aktivitas bisnis.











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Komunikasi Bisnis Lintas Budaya
Bagi para pelaku bisnis, pemahaman yang baik terdapat budaya di suatu daerah, wilayah, atau negara menjadi sangat penting artinya bagi pencapaian tujuan organisasi bisnis. Secara sederhana, komunikasi bisnis lintas budaya adalah komunikasi yang digunakan dalam dunia bisnis baik komunikasi verbal maupun nonverbal dengan memperhatikan faktor-fator budaya di suatu daerah, wilayah, atau negara. Pengertian lintas budaya dalam hal ini bukanlah semata-mata budaya asing (Internasional), tetapi juga budaya yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah dalam wilayah suatu negara.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat kaya dengan aneka macam budaya merupakan salah satu contoh yang sangat berharga bagi para pelaku bisnis dalam menerapkan komunikasi bisnis lintas budaya. Sebagaimana diketahui, setiap daerah yang ada di Indonesia ini memiliki kekhasan budaya yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya, seperti bagaimana seseorang berkomunikasi dengan orang lain, bagaimana seseorang menghargai oang lain, bagaimana mereka meyakini atau mempercayai sesuatu yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka, bagaimana mereka berpakaian, dan bagaimana mereka memperlakukan suatu produk.
Apabila para pelaku bisnis akan melakukan ekspansi bisnisnya ke daerah lain atau ke negara lain, pemahaman budaya di suatu daerah atau negara tersebut menjadi sangat penting artinya, termasuk bagaimana memahami produk-produk musiman di suatu negara. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi kesalahan fatal yang dapat mengakibatkan kegagalan bisnis. Sebagai contoh, seorang pelaku bisnis ingin memasarkan produk baru kenegara lain pada saat musim salju. Produk apa saja yang sebaiknya dipasarkan pada musim seperti itu? Pemahaman yang baik terhadap bagaimana masyarakat suatu negara bersikap dan berperilaku dalm kehidupan sehari-hari mereka di musim-musim tertentu sangatlah diperlukan, apalagi bagi para pelaku bisnis.
B.     Pentingnya Komunikasi Bisnis Lintas Budaya
Sudah saatnya para pengambil keputusan, khususnya manajemen puncak, mengantisipasi era perdagangan bebas dan globalisasi sejak dini. Era yang ditandai dengan semakin meluasnya berbagai produk dan jasa termasuk teknologi komunikasi, menyebabkan pertukaran informasi dari suatu negara ke negara lain semakin leluasa, sehingga seolah dunia ini tidak lagi terikat dengan  sekat-sekat yang membatasi wilayah suatu negara.
Tanpa harus mengamati secara jeli, orang awam pun mengetahui bahwa sudah lama Indonesia memasuki era globalisasi. Contoh sederhananya adalah masuknya sejumlah produk dan jasa dari luar negeri yang dapat dikonsumsi oleh konsumen di tanah air, seperti makanan cepat saji, minuman ringan, mainan anak-anak, pakaian, perlengkapan komunikasi, komputer personal, produk elektronik (audio visual), dan pekerja asing dalam berbagai bidang keahliannya.
Dalam menyikapi era perdagangan bebas dan globalisasi, perusahaan-perusahaan besar mencoba melakukan bisnis secara global. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di tanah air baik di bidang manufaktur, eksplorasi, maupun jasa, menggunakan konsultan asing untuk membantu mengembangkan perusahaan mereka. Begitu pula sebaliknya, perusahaan-perusahaan besar di tanah air juga ada yang mengembangkan bisnisnya ke berbagai negara.
Dengan melihat tren dan yang ada saat ini, komunikasi bisnis lintas budaya menjadi sangat penting artinya bagi terjalinnya harmonisasi bisnis di antara mereka. Bagaimanapun diperlukan suatu pemahaman bersama antara dua orang atau lebih dalam melakukan komunikasi lintas budaya, baik melalui tulisan (komunikasi lewat internet) maupun lisan (tatap muka langsung).
Semakin banyaknya pola kerja sama maupun kesepakatan ekonomi di berbagai kawasan dunia saat ini akan menjadikan komunikasi bisnis lintas budaya semakin penting. Saat ini beberapa pola kerja sama ekonomi di berbagai kawasan dunia, seperti kawasan ASEAN (AFTA/ASEAN Free Trade Area), kawasan Asia Pasifik (APEC), kawasan Amerika Utara (NAFTA/North American Free Trade Area), kawasan Kanada (CFTA/Canada Free Trade Area), kawasan Eropa Tengah (CEFTA/Central European Free Trade Agreement), kawasan Eropa (EFTA/Eropean Free Trade Area), dan kawasan Amerika Latin (LAFTA/Latin American Free Trade Association).
Pendek kata, dengan semakin terbukanya peluang perusahaan multinasional masuk ke wilayah suatu negara dan didorong dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, maka pada saat itulah kebutuhan akan komunikasi bisnis lintas budaya menjadi semakin penting artinya.    
C.     Memahami Budaya dan Perbedaannya
1.    Definisi Budaya
Berikut ini adalah definisi tentang budaya dari beberapa sudut pandang ahli:
-  Menurut Lehman, Himstreet dan Baty, budaya diartikan sebagai sekumpulan pengalaman hidup yang ada dalam masyarakat mereka sendiri.
-  Menurut Hofstrede, budaya diartikan sebagai pemograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori lainnya.
-  Menuurt Bovee dan Thill, budaya adalah system sharing atas simbol-simbol, kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan, dan norma-norma untuk berperilaku.
-  Menurut murphy dan Hildebrandt, budaya diartikan sebagai tipikal karakteristik perilaku dalam suatu kelompok.
-  Menurut Mitchel, budaya merupakan seperangkat nilai-nilai inti, kepercayaan, standar, pengetahuan, moral, hukum, dan perilaku yang disampaikan oleh individu-individu dan masyarakat, yang menentukan bagaimana seseorang bertindak, berperasaan, dan memandang dirinya serta orang lain.
Berdasarkan beberapa pengertian budaya tersebut, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatiakn, antara lain bahwa budaya mencakup sekumpulan pengalaman hidup, pemograman kolektif, system sharing, dan tipikal karakteristik perilaku setiap individu yang ada dalam suatu masyarakat, termasuk di dalamnya tentang bagaimana sistem nilai, norma, simbol-simbol dan kepercayaan atau keyakinan mereka masing-masing.
2.    Komponen Budaya
Budaya mencakup berbagai aspek kehidupan manusia, terutama yang berkaitan denagn dimensi hubungan antarmanusia, meskipun bentuk dari setiap komponen budaya dapat berbeda-beda dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Menurut Lehman, Himstreet, dan Baty, setiap elemen terbangun oleh beberapa kompenen utamanya, yaitu nilai-nilai (baik atau buruk, diterima atau ditolak), norma-norma (tertulis atau tidak tertulis), simbol-simbol (warna logo suatu perusahaan), bahasa dan pengetahuan.
Menurut Mitchell, komponen budaya mencakup antara lain: bahasa, kepercayaan/keyakinan, sopan santun, adat istiadat, seni, pendidikan, humor, dan organisasi sosial.
Sementara itu menurut Cateora, budaya memiliki beberapa elemen, yaitu budaya material, lembaga sosial, sistem kepercayaan, estetika, dan bahasa.
-  Budaya material (material culture) dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu teknologi dan ekonomi.
-  Organisasi sosial (social institution) dan pendidikan adalah suatu lembaga yang berkaitan dengan cara bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain, mengorganisasikan kegiatan mereka untuk dapat hidup secara harmonis dengan yang lain, dan mengajar peerilaku yang dapat diterima oleh generasi berikutnya.
-  Sistem kepercayaan atau keyakinan (belief system) yang dianut oleh suatu masyarakat akan berpengaruh terhadap sistem nilai yang ada di masyarakat tersebut.
-  Estetika (aesthetics) berkaitan dengan seni, dongeng, hikayat, musik, drama, dan tari-tarian.
-  Bahasa (languange) adalah suatu cara yang digunakan seseorang dalam mengungkapkan sesuatu melalui simbol-simbol tertntu kepada orang lain.
3.    Tingkatan Budaya
Menurut Murphy dan Hildebrandt, dalam dunia praktis terdapat tiga tingkat budaya, yaitu :
a.       Formal
Banyak pada tingkatan formal merupakan sebuah tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh suatu masyarakat yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dan hal itu bersifat formal/resmi. Dalam dunia pendidikan, tata bahasa Indonesia adalah termasuk salah satu budaya tingkat formal yang mempunyai aturan yang bersifat formal dan terstruktur dari dulu hingga sekarang. Sebagai contoh, sebuah kalimat sebaiknya terdiri atas subjek, predikat, dan objek. Contoh lain ketika seorang tamu masuk ke ruang pimpinan atau lainnya, maka pada umumnya ia akan mengetok pintu atau mengucapkan salam, baru dipersilahkan masuk ruang kantor.
b.      Informal
Pada tingkatan ini, budaya lebih banyak diteruskan ole suatu masyarakat dari generasi ke generasi berikutnya melalui apa yang didengar, dilihat, dipakai (digunakan), dan dilakukan tanpa diketahui alasannya mengapa hal itu dilakukan. sebagai contoh, mengapa seseorang bersedia dipanggil dengan nama julukan bukan nama aslinya. Hal itu dilakukan karena ia tahu bahwa teman-temannya biasa memanggil namanya dengan nama julukan tersebut.
c.       Teknis
Pada tingkatan ini, bukti-bukti dan aturan-aturan merupakan hal yang terpenting. Pada tingkatan teknis ini, aturan-aturan disampaikan secara logis dan tepat. Matematika adalah salah satu contoh yang sangat logis, sehingga suatu kegiatan peluncuran roket bisa dimulai. Pembelajaran secara teknis memiliki ketergantungan sangat tinggi pada orang yang mampu memberikan alasan-alasan yang logis bagi suatu tindakan tertentu.
4.      Mengenal perbadaan budaya
Dalam kehidupan sehari-hari, orang akan selalu berhubungan dengan ornag lain yang memilik latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Di samping itu, orang juga berbeda dalam hal suku, agama, ras/etnis, pendidikan, usia, pekerjaan, status, dan jenis kelamin. Perbedaan berbagai macam latar belakang budaya yang ada akan mempengaruhi cara seseorang mengirim, menerima, dan menafsirkan pesan-pesan kepada orang lain.
Dalam era globalisasi ketika banyak perusahaan asing yang melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, diperlukan pemahaman yang baik dan benar terhadap budaya dalam suatu negara. Hal ini akan sangat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi.
Dan perbedaan budaya tersebut dapat berupa antara lain :
a.    Nilai-nilai sosial
Secara umum orang-orang Amerika berpandangan bahwa uang akan dapat mengatur bebagai masalah, kekayaaan yang diperoleh dari usahanya sendiri merupakan sinyal superioritas, dan orang yang bekerja keras lebih baik daripada yang tidak bekerja keras. Mereka juga benci terhadap kemiskinan dan menghargai kerja keras. Di Indonesia, khususnya orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan masih memiliki nilai-nilai kebersamaan yang tinggi, sementara ada kecenderungan bahwa nilai-nilai gotong royong mulai memudar di daerah perkotaan, seiring dengan semakin tingginya sikap individualisme.
b.    Peran dan status
Budaya menuntun peran yang akan dimainkan seseorang, termasuk siapa berkomunikasi denga siapa, apa yang mereka komunikasikan, dan dengan cara bagaiamana mereka berkomunikasi.
Sebagai contoh, di negara-negara yang sedang berkembang peran wanita dalam dunia bisnis masih relatif lemah. Sementara di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, peran wanita di dalam dunia bisnis sudah cukup kuat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau seorang wanita di negara-negara maju tersebut menduduki posisi-posisi penting dalam suatu perusahaan.
Begitu pula dalam hal konsep status, yang cara pandangnya berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Kebanyakan satsus para eksekutif Amerika Serikat dilihat dari simbol-simbol yang bernuansa materialistik, yang ditandai dengan ruang sudut kantor yang luas, meja kerja ekslusif, dan sejumlah aksesori yang menarik. Sementara di Prancis, statsus sebagai seorang eksekutif dilihat dari ruang kerja yang berada di tengah-tengah sudut area terbuka yang dkelilingi oleh pegawai-pegawai yang lebih rendah. Di indonesia, status sebagai seorang eksekutif dapat dilihat dari penataan ruang kerja yang terkesan mewah dan seberapa mewah jenis kendaraan yang digunakan.
c.    Pengambilan keputusan
Di negara-negara maju sepertu Amerika Serikat dan Kanada, para eksekutif selalu berupaya secepat dan seefisien mungkin dalam mengambil suatu keputusan penting. Umumnya, para manajer puncak berkaitan dengan suatu keputusan pokok ditangani manajer utama, sedangkan hal-hal yang lebih rinci diserahkan kepada manajer yang berada ditingkat bawahnya. Dan lain halnya dengan di Amerka Latin dan Jepang, proses pengambilan keputusa yang dilakukan oleh manajer ouncak umumnya berjalan lambat dan bertele-tele.  
d.   Konsep waktu
Sebagian besar penduduk negara maju sudah menyadari bahwa waktu sangatlah berharga. Untuk menghemat waktu para eksekutif Amerika Serikat dan Jerman membuat rencana bisnis secara efesien dengan memusatkan perhatian pada tugas tertentu pada periode tertentu. Oleh karena waktu sangatlah terbatas, dalam berkomunikasi mereka cenderung langsung menuju pada pokok persoalan (to the point) dan cepat. Hal ini berbeda dengan para eksekutif dari Amerika Latin dan Asia, yang umumnya memandang waktu relatif luwes/fleksibel. Menurut mereka, menciptakan dasar-dasar hubungan  bisnis lebih penting daripada sekedar dapat menyelesaikan suatu pekrjaan.
e.    Konsep jarak komunikasi
Sebagaimana masalah waktu, menjaga jarak komunikasi juga berbeda untuk budaya yang berbeda. Ketika melakukan pembicaraan bisnis, para eksekutif Amerika Serikat dan Kanada menjaga jarak sekitar 5 feet dari lawan bicara. Namun bagi para eksekutif Jerman atau Jepang, jarak komunikasi tersebut dirasakan kurang dekat. Sementara itupara eksekutif dari  negara Timur Tengah mempunyai kecenderungan untuk melakukan pembicaraan bisnis dengan jarak komunikasi yang relatif dekat. Sebaliknya, para eksekutif Kanada cenderung menjaga jarak agak jauh dalam melakukan pembicaraan bisnis.
f.     Konteks budaya
Salah satu dari berbagai macam cara orang menyampaikan pesannya kepada orang lain sangat ditentukan konteks budaya. Di dalam konteks budaya tinggi seperti Korea atau Taiwan, orang kurang tergantung pada komunikasi verbal, tetapi  lebih banyak tergantung pada komunikasi nonverbal. Dalam melakukan percakapan mereka cenderung menyampaikan pesan-pesan secara tidak langsung(inderect) yang disertai dengan ekspresi ataupun gerakan-gerakan tubuh; dalam konteks budaya rendah, seperti Amerika Serikat dan Jerman, orang sangat tergantung pada komunikasi verbal dan  bukan komunikasi nonverbal. Jadi, dalam melakukan pembicaraan mereka cenderung langsung pada persoalan atau disampaikan secara eksplisit tanpa basa basi.
g.    Bahasa tubuh
Perbedaan bahasa tubuh sering kali menjadi sumber kesalahpahaman berkomunukasi lintas budaya. Sering kali orang perlu mewaspadai antar kata yang diucapakan dengan gerakan-gerakan tubuhnya agar dapat diketahui apa maksud yang sebenarnya. Sebagai contoh, sinyal “Tidak”. Orang Amerika Serikat dan Kanada menyatak tidak dengan kepala kepala ke kanan dan ke kiri; orang Bulgaria dengan menggunakan kepala ke atas dan ke bawah;  sedangkan orang Sisiliah dengan mengangkat bahu ke atas; sementara dengan orang indonesia menggelengkan  kepala ke kanan dan ke kiri. Contoh lain membungkukkan badan yang banyak dilakukan oleh orang Jepang, dapat dipandang oleh orang Amerika Serikat sebagai sikap menjilat. Senyuman yang diartikan sebagai adanya kemajuan yang baik dalam pandangan orang inggris, Skandinavia, dan Jerman, dapat diartikan sebagai malu atau marah oleh orang Jepang.
Bentuk bahasa tubuh lainnya adalah kontak mata. Mata adalah salah satu bagian tubuh yang sangat ekspresif. Orang-orang Mediterania menggunakan mata untuk berbagai tujuan antara lain : membelalakkan mata (menyatakan kemarahan mata berkedip (menyatakan persekongkolan), bulu mata bergetar(untuk memperkuat rayuan).
h.    Perilaku sosial
Apa yang dianggap sopan di suatu negara bisa jadi dianggap kurang sopan di  negara lain. Sebagai contoh, di negara-negara Arab memberikan suatu hadiah kepada istri orang lain dianggap tidak sopan, namun tidak mengapa jika hadiah tersebut diberikan kepada anak-anaknya. Di Jerman, memberikan bunga mawar merah kepada wanita dianggap sebagai suatu unndangan yang romantis, tetapi menjadi tidak berbeda jika dikaitkan dengan hubungan bisnis dengannya.
i.      Perilaku etis
Perilaku yang  etis dan tidak etis antar negara  pun bisa berbeda. Di beberapa negara, perusahaan diharapakan membayar sejumlah uang secara resmi untuk persetujuan kontrak pemerintah. Pembayaran tersebut dianggap sebagai hal yang rutin. Sementara itu, bagi negara-negara seperti  Amerika Serikat dan Swedia, hal itu bisa dikategorikan sebagai bentuk suap sehingga tidak etis dan ilegal.
Orang-orang  Jerman dan Anglo Saxon menganggap suatu keputusan sebagai perjanjian lisan  yang akan segera dirumuskan menjadi dokumen tertulis lain. Secara etis, orang terikat pada keputusan yangtelah dibuat. Butir-butir agen yang telah disepakati  bukan untuk diulangi atau dibahas kembali bila palu telah diketukkan. Namun, orang Jepang ataupun orang Eropa Selatan secara etis dapat menerima untuk meninjau kembali hal-hal yang telah disepakati sebelumnya.
j.      Perbedaan budaya perusahaan
Budaya organisasi adalah cara perusahaan dalam melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain,budaya organisasi mempengaruhi cara orang  bereaksi dengan orang lain. Ia juga dapat  melihat bagaimana pekerja melakukan tugasnya, bagaimana mereka menafsirkann dan bereaksi satu sama lainnya, dan bagaimana mereka menandai perubahan.  Saat ini, banyak perusahaan di Amerika Serikat mencoba  membuka aliansi strategis dengan perusahaan asing , dan sebagian mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalannya pertentangan budaya antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya.
Seseorang tidak dapat mengatsi berbagai hambatan bahasa dan budaya secara sempurna, tetapi ia akan mudah berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang yang memiliki budaya berbeda bila bekerja bersama-sama di dalamnya. cara seperti itu akan  mempermudah seseorang beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Praktik merupakan salah satu cara yang cukup baik untuk meningkatkan kemampuan berkomuikasi.
D.    Komunikasi dengan Orang Berbudaya Asing
a.       Belajar tentang budaya
Ketika merencanakan untuk melakukan bisnis dengan orang yang memiliki budaya berbeda, seseorang akan dapat berkomuikaasi secara efektif bila ia telah  mempelajari budayanya. Lagi pula, ketika sudah merencanakan untuk tinggal di negara lain, ia tentunya juga sudah mempersiapkan bahasa yang  harus di kuasainya.
Disamping itu, ketika tinggal di negara lain alangkah baiknya orang tersebut juga seddikit mengenal budaya maupun adat istiadat  yang berlaku di negara tersebut. Bahasa asing tentunya tidak dapat dipelajari dalam waktu singkat. Namun demikian, mulai mengenal beberapa kata bahasa asing untuk suatu pergaulan di lingkunan bisnis merupakan langkah  baik yang senantiasa perlu dikembangkan. Kalau perlu dalam suatu pertemuan yang bersifat informal bisa juga diselipkan kata-kata bbahasa aing yang telah dipahami.
 Disamping belajar bahasa, anda juga harus  membaca buku dan artikel tentang budaya asing tersebut, dan selanjutnya menanyakan secara langsung kepada mitra bisnis anda. Usahakan agar anda berkonsentrasi belajar pada maslah-masalah yang berkaitan dengan sejarah budaya, agama, politik, nlai-nilai dan adat istiadat. Berikut ini adalah contoh komunikasi llintas budaya ketika melakukan perjalanan ke suatu negara :
·      Di Spanyol, orang berjabat tangan paling lama antara lima sampai tujuh ayunan; melepas jabat tangan segera dapat diartikan sebagai suatu bentuk penolakan. Di Prancis, orang berjabat tangan cukup dengan hanya sekali ayunan atau gerakan.
·      Jangan memberi hadiah minuman-minuman beralkohol di negara-negara Arab.
·      Di Pakistan atau negara-negara yang berpendudukan mayoritas muslim, jangan heran kalau di tengah-tengah suatu pertemuan bisnis mereka minta izin keluar menunaikan ibadah sholat karena setiap Muslim wajib sholat lima waktu sehari.
·      Anda dianggap menghina tuan rummah jika anda menolak tawaran makanan, minuman atau setiap bentuk kebaikan di negara-negara Arab. Namun, Anda juga jangan cepat-cepat menerima bentuk tawaran tersebut. Kalau mau menolak suatu tawaran, tolaklah dengan cara yang sopan.
·      Tekankan usia perusahaan anda ketika berhubungan bisnis  dengan pengusaha di Jerman, Belanda, dan Swiss.
b.      Mengembangkan keterampilan komunikasi lintas budaya
Mempelajari apa yang dapat dilakukan oleh seseorang tentang budaya tertentu sebenarnya merupakan suatu cara yang baik untuk menemukan bagaimana mengirim dan menerima pesan-pesan lintas budaya secara efektif. Namun, perlu diingat dua hal yaitu pertama, jangan terlalu yakin bahwa seseorang  akan dapat memahami budaya lain secara utuh atau  sempurna. Kedua, jangan mudah terbawa kepada pola generalisasi terhadap perilaku seseorng dari budaya yang berbeda.
Mempelajari keterampilan komunikasi lintas budaya pada umumnya akan membantu seseorang beradaptasi dalam setiap  budaya, khususnya jika seseorang berhubungan dengan orang lain  yang memiliki budaya yang berbeda.
c.        Negosiasi lintas budaya
 Moran, Sthal dan Boyar internasional, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pelatihan lintas budaya (cross-culture training), membedakan budaya dalam dua kelompok yaitu budaya permukaan (surface culture) seperti makanan,  liburan, gaya  hidup, dan budaya tinggi (deep culture), yang terdiri atas sikap dan nilai-nilai yang menjadi dasar budaya tersebut.
 Orang yang berasal dari budaya yang berbeda serimng kali mempunyai pendekatan negosiasi yang juga berbeda. Tingkat toleransi untuk suatu ketidaksetujuan punbervariasi. Sebagai contoh, negosiator dari Amerika Serikat cenderung  relatif impersonal dalam  melakukan  negosiasi. Mereka melihat tujuan mereka dalam sudut pandang ekonomi dan biasanya mereka menganggap unsur kepercayaan penting diantara mereka. Sebaliknya para negosiator dari Cina dan Jepang lebih suka pada suasana hubungan sosial. Jika ingin berhasil bernegosiasi di Cina, Anda sebaiknya bersikap sabar dan menguasai bagaimana hubungan personal (pribadi) di Cina. Di keduanegara tersebut, anda harus dapat menumbuhkan hubungan personal sebagai dasar membangun keprcayaan daalam proses negosiasi.
   Negosiasi dari negara yang berbeda mungkin menggunakan teknik pemecahan masalah dan metode pengambilan keputusan yang berbeda. Jika mempelajari budaya partner anda sebelum bernegosiasi, Anda akan lebih mudah mempelajari budaya pandangan mereka. Lebih  lanjut, menunjukkan sikap luwes, hormat, sabar, dan sikap bersahabat akan membawa pengaruh yang baik bagi proses negosiasi yang sedang berjalan, yang pada akhrnya dapat ditemukan solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.












BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Semakin pesatnya perkembangan tenologi informasi dan komunikasi telah memberikan peluang untuk berkomunikasi dengan seseorang yang berbicara dengan bahasa dan budaya yang berbeda. Pengemangan keterampillan komunikasi bisnis llintas budaya menjadi semakin  penting artinya, mengingat kecenderungan dunia bisnis yang semakin mengglobal.
Terdapat tiga tingkatan budaya, yaitu formal,informal, dan teknis. Kendala utama dalam komunikasi lintas budaya adalah perbedaan budaya dan masalah bahasa. Perbedaan budaya sering kali menjadikan komunikasi tidak efekti.
 Perbedaan  budaya dapat ditunjukkan dalam nilai-nillai sosial, ide status, kebiasaan pengambilan keputusan, sikap terhadap waktu, pengaturan  jarak bicara, konteks budayaa, bahasa tubuh, adayt-istiadat, perilaku hukum dan etika.
  Seseorang dapat mempelajari budaya tertentu dengan cra membaca buku-buku dan artikel, berbicara dengan orang yang menjadi bagian dari suatu budaya, mengunjungi suatu negara, belajar bahasanya, belajar sejarah budaya suatu negara, agama, politik, nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat suatu negara.
B.  Saran

Dengan semakin terbukanya peluang perusahaan multinasional masuk ke wilayah suatu negara dan di dorong dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, maka pada saat itulah kebutuhan akan komunikasi bisnis lintas budaya menjadi semakin penting artinya. Dengan demikian kita perlu untuk mempelajari berbagai macam budaya, baik dalam negeri maupun luar negeri.  

DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, Djoko. Komunikasi Bisnis. 4-th. Edition. Surakarta : Erlangga, 2010.